PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Kita
mengetahui bahwa dalam era globalisasi ini banyak pemuda yang sudah kehilangan
akhlakulkarimahnya sehingga perlu pemahaman dan pembelajaran untuk mengkaji
akhlak dan tasawuf.
Tasawuf
adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan
dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin ahlak yang mulia dan
dekat dengan Allah Swt. Inilah esensi atau hakikat tasawuf itu sendiri.
Tasawuf
bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan
yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran. Bahwa manusia sedang
berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontek komunikasi dan
dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara manusia
perlu mengasingkan dirinya. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan
berbentuk “Ijtihad” (bersatu dengan Tuhan) demikian menjadi inti persoalan
“sufisme” baik pada agama Islam maupun diluarnya.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ilmu akhlak?
2.
Apa saja ruang lingkup ilmu akhlak?
3.
Apa manfaat yang diperoleh dari mempelajari ilmu akhlak?
4.
Pengertian Tasawuf
5.
Asal-usul tasawuf
6.
Hubungan akhlak dan tasawuf
6.
Tujuan taswuf
1.3. Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk mengetahui pengertian ilmu akhlak.
2. Untuk
mengetahui ruang lingkup ilmu akhlak.
3. Untuk
mengetahui manfaat yang diperoleh dari mempelajari ilmu akhlak.
4. Untuk
memahami pengertian tasawuf
5. Untuk
mengetahui asal-usul taswuf
6.
Untuk mengetahui tujuan tasawuf
1.3 Tujuan
1.
Menjelaskan definisi akhlak dan tasawuf
2.
Dapat memahami akhlak dan tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
AKHLAK
2.1 Pengertian
Akhlak
Kata
“Akhlak” berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun (خُلُقٌ) yang menurut bahasa berarti budi pekerti,
perangai, tingkah laku atau tabiat.
Kata
tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalqun (جَلْقٌ) yang berarti kejadian, yang juga erat
hubungannya dengan khaliq (جَالِقٌ)
yang berarti sang pencipta, demikian pula dengan mkhluqun (مَجْلُوْقٌ) yng berarti yang diciptakan.
Kata akhlak
adalah jamak dari kata khalqun atau khuluqun yang artinya sama
dengan arti akhlak sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlak atau
pun khuluk kedua-duanya dijumpai pemakaiannya baik dalam Al Qur’an maupun Al
Hadits, sebagai berikut:
وَ اِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ ( القلم :
4 )
Dan sesungguhnya
kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al Qalam: 4)
اَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا
وَ اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا (رواه الترمذى)
Orang mukmin
yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya. (HR. Tirmidzi)
Ilmu akhlak
adalah ilmu yang membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian
menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau
perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang
berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian
memberikan nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan
tersebut tergolong baik atau buruk. Dalam pengertian yang hampir sama dengan
kesimpulan di atas, Dr. M Abdullah Dirroz, mengemukakan definisi akhlak sebagai
berikut:
“Akhlak
adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana
berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal
akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).”
Menurut
Istilah, akhlak adalah:
- Ibnu Miskawaih: sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melaksanakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran danpertimbangan.
- Imam Ghazali: sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Selanjutnya
menurut Abdullah Dirroz, perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai
manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu:
1.
Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama,
sehingga menjadi kebiasaan.
2.
Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan
karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang
lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang
indah-indah dan lain sebagainya.
Keseluruhan
definisi akhlak tersebut di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan
memiliki satu kemiripan antara satu dengan lainnya. Definisi-definisi akhlak tersebut
secara substansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat
lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
1.
Pebuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2.
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa
pemikiran.
3.
Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.[1]
4.
Bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya,
bukan main-main atau karena bersandiwara.
5.
Sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik)
adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan
karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Dalam
perkembangan selanjutnya akhlak tumbuh menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri,
yaitu ilmu yang memiliki ruang lingkup pokok bahasan, tujuan, rujukan , aliran
dan para tokoh yang mengembangkannya. Kesemua aspek yang terkandung dalam
akhlak ini kemudian membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan dan
membentuk suatu ilmu.
Ma’arif ilmu
akhlak adalah:
اْلعِلْمُ بِالْفَضَائِلِ وَ
كَيْفِيَةِ اِقْتِنَائِهَا لِتَتَعَلَّى اْلنَفْسُ بِهَا وَ بِالرَّذَائِلِ
وَكَيْفِيَةِ تَوْقِيْهَا لِتَتَغَلَّى
Ilmu tentang
keutamaan-keutamaan dan cara mengikutinya hingga terisi dengannya dan tentang
keburukan dan cara menghindarinya hingga jiwa kosong dari padanya.[2]
Di dalam Mu’jam
al-Wasith disebutkan bahwa ilmu akhlak adalah:
اْلعِلْمُ مَوْضُوْعُهُ اَحْكَامٌ تَتَعَلَّقُ
بِهِ اْلأَعْمَالُ الَّتِى تُوْصَفُ بِاْلحَسَنِ وَ اْلقُبْحِ
Ilmu yang
objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan
manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk.[3]
Selain itu
ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu tentang tata
krama.[4]
2.2
Ruang lingkup kajian ilmu ahkalak
Ilmu akhlak adalah ilmu yang membahas
tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan
tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Ilmu
akhlak dapat pula disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya
mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberikan nilai atau hukum kepada
perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk.
Dengan
demikian objek pembahasan ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan seseorang. Perbuatan tersebut
selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk. Dalam hubungan ini
Ahmad Amin mengatakan sebagai berikut:
Bahwa objek
ilmu akhlak adalah membahas perbuatan manusia yang selanjutnya perbuatan
tersebut ditentukan baik atau buruk.[5]
Dengan
demikian terdapat akhlak yang bersifat perorangan dan akhlak yang bersifat
kolektif.
Jadi yang
dijadikan objek kajian Ilmu Akhlak di sini adalah perbuatan yang memiliki
ciri-ciri sebagaimana disebutkan di atas, yaitu perbuatan yang dilakukan atas
kehendak dan kemauan. Sebenarnya, mendarah daging dan telah dilakukan secara
terus-menerus sehingga mentradisi dalam kehidupannya. Perbuatan atau tingkah
laku yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut tidak dapat disebut sebagai
perbuatan yang dijadikan garapan Ilmu Akhlak, dan tidak pula termasuk ke dalam
perbuatan akhlaki.
Dengan
demikian perbuatan yang bersifat alami, dan perbuatan yang dilakukan dengan
tidak senganja, atau khilaf tidak termasuk perbuatan akhlaki, karena dilakukan
tidak atas dasar pilihan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang
berbunyi:
اِنَّ اللهَ تَعَالَى تَخَاوَرَّ لِى
وَ عَنْ أُمَّتِى اْلخَطَأَ وَ النِّسْيَانَ وَ مَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ ( رواه ابن المخة عن ابى الزار )
Bahwasanya
Allah memaafkanku dan ummatku yang berbuat salah, lupa dan dipaksa. ( HR. Ibnu Majah dari Abi Zar )
Dengan
memperhatikan keterangan tersebut di atas kita dapat memahami bahwa yang
dimaksud dengan Ilmu Akhlak adalah ilmu yang mengkaji suatu
perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang dalam keadaan sadar, kemauan
sendiri, tidak terpaksa dan sungguh-sungguh, bukan perbuatan yang pura-pura.
Perbuatan-perbuatan yang demikian selanjutnya diberi nilai baik atau buruk.
Untuk menilai apakah perbuatan itu baik atau buruk diperlukan pula tolak ukur,
yang baik atau buruk menurut siapa, dan apa ukurannya.
Imam
Al-Ghazali membagi tingkatan keburukan akhlak menjadi empat macam, yaitu:
1.
Keburukan akhlak yang timbul karena ketidaksanggupan seseorang mengendalikan
nafsunya, sehingga pelakunya disebut al-jahil ( الخاهل ).
2.
Perbuatan yang diketahui keburukannya, tetapi ia tidak bisa meninggalkannya
karena nafsunya sudah menguasai dirinya, sehingga pelakunya disebut al-jahil
al-dhollu ( الجاهل الضّالّ ).
3.
Keburukan akhlak yang dilakukan oleh seseorang, karena pengertian baik baginya
sudah kabur, sehingga perbuatan buruklah yang dianggapnya baik. Maka pelakunya
disebut al-jahil al-dhollu al-fasiq ( الجاهل
الضّالّ الفاسق ).
4.
Perbuatan buruk yang sangat berbahaya terhadap masyarakat pada nya,
sedangkan tidak terdapat tanda-tanda kesadaran bagi pelakunya, kecuali hanya
kekhawatiran akan menimbulkan pengorbanan yang lebih hebat lagi. Orang yang
melakukannya disebut al-jahil al-dhollu al-fasiq al-syarir ( الجاهل الضّالّ الفاسق الشّرير ).
Menurut Imam
Al-Ghazali, tingkatan keburukan akhlak yang pertama, kedua dan ketiga masih
bisa dididik dengan baik, sedangkan tingkatan keempat sama sekali tidak bisa
dipulihkan kembali. Karena itu, agama Islam membolehkannya untuk memberikan
hukuman mati bagi pelakunya, agar tidak meresahkan masyarakat umum. Sebab kalu
dibiarkan hidup, besar kemungkinannya akan melakukan lagi hal-hal yang
mengorbankan orang banyak.[6]
Banyak
sekali petunjuk dalam agama yang dapat dijadikan sarana untuk memperbaiki
akhlak manusia, antara lain anjuran untuk selalu bertobat, bersabar, bersyukur,
bertawakal, mencintai orang lain, mengasihani serta menolongnya.
Anjuran-anjuran itu sering didapatkan dalam ayat-ayat akhlak, sebagai nasihat
bagi orang-orang yang sering melakukan perbuatan buruk.
2.3 Ahklak
secara Universal
Akhlak
universal adalah kebaikan yang bersumber kepada al-quran dan hadist, sehingga
berlaku umum untuk seluruh umat di setiap tempat dan masa, oleh karena itu
dipandang dari sumbernya akhlak bersifat tetap dan berlaku untuk selamanya,
untuk mendapatkan definisi di atas ada beberapa pendapat para ahli diantaranya
:
Imam
AL-GHOZALI menyebut akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa dan
dari jwa itu timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan
pertimbangan pikiran.
Prof,Dr,
Ahmad amin mendefinisikan akhlak sebagai kehendak yang dibiasakan .Maksudnya
suatu kehendak itu apabila membiasakan sesuatu maka kebiasaan itu
dinamakan akhlak
- Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.
- Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
- Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
- Dilakukan dengan sungguh-sungguh.
- Dilakukan dengan ikhlas
2.4 Manfaat
Mempelajari Ilmu Akhlak
Berkenaan
dengan manfaat mempelajari Ilmu Akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebagai
berikut:
Tujuan
mempelajari Ilmu Akhlak dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan
sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya
sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim
termasuk perbuatan buruk, membayar hutang kepada pemiliknya termasuk perbuatan
baik, sedangkan mengingkari hutang termasuk perbuatan buruk.[7]
Selanjutnya
Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk
membersihkan kalbu dari kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi
bersih.
TASAWUF
2.4
Pengertian tasawuf
Sebelum
lebih jauh membahas tentang asal-usul tasawuf, sedikit kami berikan pengertian
singkat sufi dan tasawuf. Ada beberapa pendapat tentang asal-usul kata tasawuf.
Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata safa’, artinya suci,
bersih atau murni. Karena memang, jika dilihat dari segi niat maupun tujuan
dari setiap tindakan dan ibadah kaum sufi, maka jelas bahwa semua itu dilakukan
dengan niat suci untuk membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT.[1] Ada lagi yang mengatakan tasawuf
berasal dari kata saff, artinya saff atau baris. Mereka dinamakan
sebagai para sufi, menurut pendapat ini, karena berada pada baris (saff)
pertama di depan Allah, karena besarnya keinginan mereka akan Dia,
kecenderungan hati mereka terhadap-Nya.[2] Ada pula yang mengatakan bahwa
tasawuf berasal dari kata suffah atau suffah al Masjid, artinya
serambi mesjid. Istilah ini dihubungkan dengan suatu tempat di Mesjid Nabawi
yang didiami oleh sekelompok para sahabat Nabi yang sangat fakir dan tidak
mempunyai tempat tinggal. Mereka dikenal sebagai ahli suffah. Mereka adalah
orang yang menyediakan waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta meninggalkan
usaha-usaha duniawi. Jelasnya, mereka dinamakan sufi karena sifat-sifat mereka
menyamai sifat orang-orang yang tinggal di serambi mesjid (suffah) yang
hidup pada masa nabi SAW.[3] Sementara pendapat lain mengatakan
bahwa tasawuf berasal dari kata suf, yaitu bulu domba atau wol. Hal ini
karena mereka (para sufi) tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah
dipandang, untuk menyenangkan dan menenteramkan jiwa. Mereka memakai pakaian
yang hanya untuk menutupi aurat dengan bahan yang terbuat dari kain wol kasar (suf).[4]
Sedangkan
tasawuf menurut beberapa tokoh sufi adalah seperti berikut:[5]
- Bisyri bin Haris mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.
- Sahl at-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT, dan baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.
- Al-Junaid al-Bagdadi (w. 289 H), tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf ialah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syari’at Rasulullah SAW.
- Abu Qasim Abdul Kari mal-Qusyairi memberikan definisi bahwa tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan sunah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah.
- Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai yang tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji) dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan).
2.5
Asal usul tasawuf
Tasawuf
Islam bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi
SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-Nya manusia,
diantaranya seperti tertulis pada pendahuluan di atas.
Secara
umum Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan
kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah
inilah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian
yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta
praktek kehidupan Nabi dan sahabatnya. Lebih jauh, al-Qur’an berbicara tentang
kemungkinan manusia dan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) seperti dalam
al-Maidah: 54; perintah agar manusia senantiasa bertaubat (at-Tahrim: 8);
petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka
berada (al-Baqarah: 110); Allah dapat memberikan cahaya kepada orang yang
dikehendaki (an-Nur: 35); Allah mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak
diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (al-Hadid, al-Fathir: 5); dan
senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendakatan diri kepada Allah SWT (Ali
Imron: 3).[6]
Begitu juga
perintah Allah untuk ikhlas semata mengharap ridha-Nya dalam beribadah
(al-Bayinah: 5); berperilaku jujur (al-Anfal: 58), adil, taqwa (al-Maidah: 6);
yakin, tawakal (al-Anfal: 49); qonaah, rendah hati dan tidak sombong
(al-Isra’:37); beribadah dengan penuh pengharapan terhadap ridha-Nya (raja’)
(al-Kahfi: 110), takut terhadap murka Allah atas segala dosa (khauf)
(at-Tahrim: 6); menahan hawa nafsu (Yusuf: 53); amar ma’ruf nahi munkar (Ali
Imron: 104); dan banyak lagi konsep akhlak dan amal diajarkan dalam al-Qur’an
kesemuanya adalah sumber tasawuf dalam Islam.
Sejalan
dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an, as-Sunnah pun banyak berbicara tentang
kehidupan rohaniah. Teks hadis qudsi berikut dapat dipahami dengan pendekatan
tasawuf:
كنت كنزا
مخفيا فاحببت ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
“Aku adalah
perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku menjadikan makhluk agar mereka
mengenal-Ku”.
Hadis
tersebut memberi petunjuk bahwa alam raya, termasuk manusia adalah merupakan
cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenalkan diri-Nya melalui
penciptaan alam ini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi
ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk mengenal-Nya. Dan apa yang ada di alam
raya ini pada hakikatnya adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya,
sebagaimana firman-Nya dalam al-Baqarah: 156: “Orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”
Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali.” dan
al-Baqarah 45-46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan
Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Juga hadis
riwayat Imam Bukhari berikut yang menyatakan:
لا يزال
العبد يتقرب الي بالنوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه الذى يسمع وبصره الذى يبصر
به ولسانه الذى ينطق به ويده الذى يبطش بها ورجله الذى يمشوى بها فبى يسمع فبى
يبصر وبى ينطق وبى يعقل وبى يبطش وبى يمشى.
“Senantiasa
seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat,
sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku mencintainya maka jadilah Aku
pendengarannya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai
untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berbicara, tangannya yang dia
pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berjalan; maka dengan-Ku
lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninju dan berjalan.”
Hadis
tersebut memberi petunjuk dapat bersatunya manusia dan Tuhan, yang
selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’ yaitu fana’nya makhluk
kepada Tuhan yang saling mencintai.
Benih-benih
tasawuf dipraktekkan langsung oleh Muhammad SAW. dalam kehidupan
kesehariannya. Perilaku hidup Nabi SAW sebelum diangkat menjadi Rasul,
berhari-hari beliau berkhalawat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di
sana Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pengasingan diri Nabi SAW. di gua Hira’ ini merupakan acuan utama para sufi
dalam berkhalawat. Puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah terjadi ketika beliau
melakukan Isro’ wal mi’roj. Dikisahkan Nabi berdialog langsung dengan Allah
ketika menerima perintah Shalat lima waktu.
Perikehidupan
(sirah) Nabi SAW juga merupakan benih-benih tasawuf, yaitu pribadi Nabi
yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam
salah satu do’anya nabi bermohon: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam
kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin.” (HR. Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Hakim). Pada suatu waktu Nabi SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah
binti Abu Bakar as-Shidiq, ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan
seperti ini diterimanya dengan sabar, lalu beliau menahan laparnya dengan
berpuasa (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai). Nabi juga sering mengganjal
perutnya dengan batu sebagai penahan lapar.
Cara
beribadah Nabi SAW juga merupakan cikal-bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang
yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa
pada suatu malam Nabi SAW mengerjakan shalat malam; di dalam shalat lututnya
bergetar karena panjang, banyak rakaat serta khusu’ dalam shalatnya. Tatkala
ruku’ dan sujud terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap terus melakukan
shalat sampai suara azan Bilal bin Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi
SAW demikian tekun melakukan shalat, Aisyah bertanya: “Wahai junjungan,
bukankah dosamu yang terdahulu dan akan datang telah diampuni Allah, kenapa
engkau masih terlalu banyak melakukan shalat?” Nabi SAW menjawab: ‘Aku
ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Akhlak Nabi
SAW merupakan acuan akhlak yang tiada bandingannya. Akhlak Nabi bukan hanya
dipuji oleh manusia termasuk musuh-musuhnya, tetapi juga oleh Allah SWT. Allah
berfirman: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti
yang agung”. (QS. 68:4). Dan ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW,
ia menjawab: “Akhlaknya adalah al-Qur’an”. (HR. Ahmad dan Muslim).
Ajaran rasul
tentang bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari banyak diikuti
oleh para sahabatnya, dilanjutkan oleh para tabi’in, tabiit tabi’in dan seluruh
Muslim hingga saat ini . Mereka mengikuti firman Allah: “Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).
Demikian
sekilas asal-usul tasawuf dalam Islam. Jelas asal-usul tasawuf Islam bersumber
dari al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian perlu juga kita perhatikan pendapat
dari kalangan orientalis Barat. Mereka mengatakan bahwa sumber yang membentuk
tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (agama Nasrani), unsur
Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Unsur dari Islam sudah dijelaskan
pada penjelasan sebelumnya, selanjutnya unsur di luar Islam yang masuk ke dalam
tasawuf menurut orientalis dapat dijelaskan berikut:
1. Unsur
Masehi (agama Nasrani)
Orang Arab
sangat menyukai cara kependataan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah.
Atas dasar ini Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur
agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah.Hal ini diperkuat pula oleh
Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan
cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian kasar
yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah
merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson
mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan
bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.[7]
Unsur lain
yang dikatakan berasal dari Nasrani adalah sikap fakir. Menurut keyakinan
Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang fakir, dan Injil juga
disampaikan kepada orang fakir. Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang
miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar,
karena kamu akan kenyang.” Selanjutnya adalah sikap tawakal kepada Allah dalam
soal penghidupan terlihat pada peranan syekh yang menyerupai pendeta, bedanya
pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena
kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan penyaksian,
dimana sufi dapat menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.[8]
2. Unsur
Yunani
Kebudayaan
Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia Islam di mana perkembangannya
dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode
berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola fikir sebagian
orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi
tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan
sebagai tasawuf yang bercorak filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran
al-Farabi, al-Kindi, Ibnu Sina, terutama dalam uraian tentang filsafat jiwa.
Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibnu Arabi,
Syukhrawardi, dan lain sebagainya.[9]
Selain itu,
ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat ke dunia Islam melalui mazhab paripatetic
dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (paripatetic) kelihatannya
lebih banyak masuk ke dalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam),
sedangkan untuk Neo Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.
Filsafat
emanasinya Plotinus yang
mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah
satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi asal mula tasawuf di
dunia Islam. Dalam emanasinya, Plotinus menjelaskan bahwa roh berasal dari
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Akan tetapi ketika masuk ke alam materi,
roh menjadi kotor, dan untuk kembali ke tempat asalnya, roh harus terlebih
dahulu dibersihkan. Penyucian roh dilakukan dengan cara meninggalkan
dunia dan mendekati Tuhan sebisa mungkin, atau bersatu dengan Tuhan. Dikatakan
pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan
sufi dalam Islam.[10]
3. Unsur
Hindu/Budha
Tasawuf dan
sistem kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Darwis
Al-Birawi mencatat adanya persamaan cara ibadah dan mujahadah pada
tasawuf dan ajaran Hindu. Demikian juga pada paham reinkarnasi (perpindahan
roh dari satu badan ke badan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha
dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.[11]
Salah satu
maqamat sufiah al-Fana nampaknya ada persamaan dengan ajaran Nirwana
dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara
tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi.[12]
Menurut
Qomar Kailan pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima
bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti zaman Nabi Muhammad
telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal sepanjang sejarah
belum ada kesimpulan seperti itu.[13]
4. Unsur
Persia
Sebenarnya
Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik,
pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat
yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang
jelas kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu
terkenal sebagai ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud
di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara
istilah Hakikat Muhammad dan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam
agama Zarathustra.[14]
Dari semua
uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari
ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah, mengingat yang dipraktekkan
Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang menjadi
pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani dan
sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa agama, kemungkinan
yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi (Nasrani dan
Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama Allah SWT
yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan.
2.5
Hubungan akhlak dan tasawuf
Akhlak dan
Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan
horizontal antara sesama manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi
vertical antara manusia dengan Tuhannya. Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan
tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak. Hubungan akhlak
dan tasawuf tidak bisa terpisashkan karena kesucian hati akan membentuk
akhlakjyang baik pula .Pada intinya seseorang yang masuk kedalamn dunia tasawuf
hgarus munundukan jasmani dan rohani dengan cara mendekatkan diri kepada Allah
dan menjaga akhlak yang baik.
2.6 Tujuan
Tasawuf
Adapun
tujuan tasawuf adalah:
1. Menurut Harun Nasution,
tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat
mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati
bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan.[15]
2. Menurut K. Permadi, tujuan
tasawuf ialah fana untuk mencapai makrifatullah, yaitu leburnya
diri pribadi pada kebaqaan Allah, dimana perasaan keinsanan lenyap
diliputi rasa ketuhanan.[16]
Dengan
demikian inti dari ajaran tasawuf adalah menempatkan Allah sebagai pusat segala
aktivitas kehidupan dan menghadirkan-Nya dalam diri manusia sebagai usaha
memperoleh keridaan-Nya
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
- Kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti, peranggai, tingkah laku atau tabiat. Ahklak adalah hal yang melekat dalam jiwa, dan dari kebiasaan itu akan timbul perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan oleh manusia.
- Tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri ialah al-Qur’an dan Sunah, mengingat yang dipraktekkan Nabi SAW dan para sahabat. Namun setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran, bisa saja ia mendapat pengaruh dari luar seperti filsafat Yunani dan sebagainya. Dan andaipun terdapat persamaan dengan ajaran beberapa agama, kemungkinan yang dapat terjadi adalah persamaan dengan agama-agama samawi (Nasrani dan Yahudi), mengingat semua agama samawi berasal dari tuhan yang sama Allah SWT yang dalam Islam diyakini sama mengajarkan tentang ketauhidan
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata,
Dr. MA. Akhlak Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002
al-Ghazali. Ihya’
Ulumu al-Din. Jilid III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
AL-HABSYI,
HUSIN. ___________. Kamusal-Kautsar. Surabaya: Assegaf.
AMIN, AHMAD.
__________.Kitab al-Akhlaq. __________: Mesir-Daral-Kutubal-Mishriyah,
cet. III.
Asmaran As,
Drs. MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996
MAHJUDIN,
Drs. 1991. Kuliah Akhlak-Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia.
MUSTOFA,
Drs. H. A. 1999. Akhlak-Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
NATA, Prof.
Dr. H. ABUDDIN, M.A. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Taja
Grafindo Persada.
Permadi,
K.Drs. S.H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004
Rosihon
Anwar, Drs. M.Ag. Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia, 2000.
Simuh. Tasawuf
dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996
[1] Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq,
(Mesir-Daral-Kutubal-Mishriyah, cet. III. t.t.), hlm. 2-3.
[2] Abd. Hamid Yunus, hlm. 436-437.
[3] Ibrahim Anis.
[4] Husin al –Habsyi, Kamusal-Kautsar,
(Surabaya: Assegaf, t.c.), hlm. 87.
[5] Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq,
hlm. 2.
[6] Drs. Mahjudin, Kuliah
Akhlak-Tasawuf, Kalam Mulia Jakarta, 1991, hlm. 41.
[7] Amhad Amin, hlm. 1.
[1] Drs. Asmaran As, MA. Pengantar
Studi Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996 hal.42-3
[2] Ibid.
[4] Ibid. Hal 44-5.
[5] Drs. K. Permadi, S.H. Pengantar
Ilmu Tasawuf. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. hal. 28-9
[6] Dr. H. Abudin Nata, MA. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002. hal. 181
[7] Ibid. hal. 185-6
[8] Ibid.
[9] Drs. Rosihon Anwar, M.Ag. Drs.
Mukhtar Solihin, M.Ag. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000. hal.
35
[10] Ibid. hal. 36
[11] Ibid. hal. 33
[12] Drs. H. Abuddin Nata, MA. Op.Cit.
hal. 187
[13] Ibid.
[14] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Drs.
Mukhtar Solihin, M.Ag. Op.Cit. hal. 38-9
[16] Drs. K. Permadi. Op.cit. hal.
89
Tidak ada komentar:
Posting Komentar